Negeri Bebas Korupsi, Bisakah?

Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md
Pendidik Generasi, Member AMK

Miris. Korupsi di negeri ini semakin mengiris hati. Belum selesai satu kasus korupsi, sudah disusul kasus korupsi yang lainnya.

Ada beberapa mega skandal korupsi yang mencuat di permulaan tahun ini. PT Jiwasraya tiba-tiba diberitakan gagal bayar polis asuransi. Penyebabnya, investasi yang dilakukan di bursa saham ternyata mengalami kerugian. Tak tanggung-tanggung, dana nasabah yang hilang akibat dibelikan saham gorengan nyaris mencapai 30 triliyunan. Akibatnya, negara harus siap-siap kena getah. Yakni siap menunaikan hak nasabah, karena bagaimana pun Jiwasraya adalah perusahaan berplat merah.

Kasus yang sama pun menimpa PT Asabri, sebuah BUMN yang bergerak di bidang Asuransi Sosial dan pembayaran pensiun khusus untuk Prajurit TNI, Anggota Polri, PNS Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan POLRI. Dengan modus yang sama, Asabri ditaksir rugi hingga 10 triliyunan rupiah. Menurut Pengamat BUMN yang juga Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, kondisi tersebut mengindikasikan adanya dalang besar yang berperan dalam menggerogoti BUMN. Mengingat, kasusnya tak hanya satu dua.

Sampai Juni 2019 lalu, tercatat ada 255 perkara korupsi yang pelakunya anggota DPR/DPRD. Sementara 110 perkara lainnya melibatkan kepala daerah.

Menyimak begitu maraknya kasus korupsi, wajar jika banyak pihak yang pesimis korupsi bisa dieliminasi. Apalagi  korupsi terbukti sudah memapar seluruh sisi penyelenggaraan negara di berbagai levelnya. Termasuk lembaga penegak hukum, peradilan, bahkan lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu yang bertanggung jawab memastikan Indonesia dipimpin oleh para penguasa dan pejabat yang kredibel.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyebut, bahwa munculnya kasus-kasus korupsi sangat terkait dengan keberadaan para investor atau cukong politik yang bermain dalam setiap momen pemilihan para pejabat negara, termasuk anggota dewan maupun kepala daerah.

Kondisi seperti ini memang niscaya ketika Indonesia mengemban sistem kapitalisme-demokrasi dalam pengelolaan negara. Penguasa dan pengusaha berkolaborasi dalam hubungan simbiosis mutualisme. Yang satu butuh kursi, yang lain perlu kebijakan yamg memuluskan.

Indonesia dikenal sangat ramah terhadap koruptor. Terbukti, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terpidana koruptor boleh ikut pemilihan kepala daerah.

Sistem kapitalisme-demokrasi lah yang justru menjadi biang masalah korupsi. Sistem yang cacat sejak lahir karena tegak di atas asas sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan dan negara, dan jaminan empat kebebasan yang tak mengenal prinsip halal dan haram, yakni kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berkepemilikan, dan kebebasan berperilaku.

Inilah yang berbeda dengan sistem Islam, yang tegak di atas landasan keimanan kepada Allah Swt. yang termanisfestasi dalam penegakkan seluruh aturan-Nya oleh negara, serta ditaati oleh individu-individu rakyatnya yang beriman dan bertakwa.

Penerapan aturan Islam secara kafah inilah yang akan menutup celah munculnya kasus korupsi. Karena aturan Islam sejatinya bebas dari kepentingan apapun, dan dalam penerapannya ada jaminan kesejahteraan, keadilan dan keamanan bagi setiap individu rakyat, sehingga tak memungkinkan bagi mereka untuk melakukan kecurangan.

Masyarakat dalam sistem Islam hidup dengan budaya amar makruf nahi mungkar. Sehingga tercipta suasana keimanan yang tinggi, sehingga setiap potensi penyimpangan akan tercegah sejak dini. Jika ada kasus terjadi, maka negara akan menerapkan sanksi tanpa tebang pilih, dengan bentuk sanksi yang dijamin akan memberi efek jera pada pelakunya, sekaligus pencegah bagi yang lain.

Dalam kasus korupsi, sanksinya bisa berupa penyitaan, pemenjaraan, dan dipermalukam di muka umum (tasyhir), dan lain-lain, tergantung kebijakan hakim karena termasuk dalam ta'zir. Yakni, hukumannya diserahkan kepada hakim. Sementara pencurian, diberlakukan hukum hudud, berupa potong tangan jika yang dicurinya sama atau melebihi nilai 1/4 Dinar.

Dengan penerapan aturan Islam secara kafah, maka dijamin tidak akan ada ruang bagi merebaknya keburukan sebagaimana yang terjadi dalam sistem yang tegak saat ini.

Wallahu a'lam bishshawab.[]

Post a Comment

[blogger]

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.