Islam, Solusi Paripurna Atasi Banjir

Oleh: Diana Romlah
Aktivis Dakwah, Member Akademi Menulis Kreatif

Sudah setengah bulan berlalu sejak banjir menerjang warga ibukota Jakarta dan sejumlah kota di Jawa barat, tepat diawal tahun 2020. Sampai saat ini belum berakhir penderitaan para korban. Dampak yang terjadi tidak saja kerusakan materil yang sangat parah tapi juga menelan korban jiwa.  Dikutip dari BBC news, 5 Januari 2020 bahwa kerugian sementara yang diestimasikan melebihi Rp10 triliun, menurut Bhima Yudhistira, peneliti di _Institute For Development of Economics and Finance_ (INDEF). "Yang pertama yang paling dirasakan itu adalah dampak dari infrastruktur fisik, baik rumah-rumah yang rusak ringan maupun yang rusak berat, kemudian juga infrastruktur dari Pemprov DKI Jakarta dan Jawa Barat yang terkena dampak karena banyak yang rusak," Dan pembiayaan-pembiayaan infrastruktur tadi relatif memakan biaya yang cukup besar,” ujar Bhima kepada BBC News Indonesia.

Kerugian juga terjadi di sektor aktivitas ekonomi spesifik, termasuk industri. Banyak pusat perbelanjaan yang tutup, sehingga sektor ritel termasuk yang mengalami kerugian yang besar dari estimasi kerugian keseluruhan itu, atau sekitar Rp1 triliun. Sejak air surut di beberapa wilayah mulai hari Kamis (02/01), hanya sekitar 20% dari jumlah pertokoan buka kembali pada akhir pekan. Namun angka kerugian akan terus meningkat akibat sebagian besar toko-toko yang masih tutup. Masih di media yang sama, Kepala Pusat Meteorologi Publik, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Gofisika (BMKG), Fachri Radjab, puncak musim hujan diperkirakan baru akan datang pada pertengahan Januari hingga awal Maret. Sedangkan hujan deras yang di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan masih akan berlangsung hingga pekan kedua Januari. Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan hujan yang ekstrem dikhawatirkan juga akan lanjut menyebabkan kerugian bagi para pengusaha.
Bencana banjir sepertinya menjadi bencana rutin tahunan bagi beberapa wilayah terutama DKI dan Jabar. Dilansir dari KOMPAS.com. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan,  "Pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866 – 2015), terdapat kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrim tahunan sebagaimana terjadi kemarin pada 1 Januari 2020," kata Herizal lewat keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Jumat (3/1/2020). Dia mengatakan, data 43 tahun terakhir menunjukkan, di wilayah Jabodetabek curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10-20 mm per 10 tahun. Curah hujan ekstrim penyebab kejadian banjir berulang. Hal ini seperti yang terjadi pada periode ulang kejadian 2014, 2015, dan termasuk 2020 bila diperhitungkan, menunjukkan peningkatan sebesar 2-3 persen, jika dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu. Curah hujan ekstrim awal tahun 2020 merupakan salah satu kejadian hujan paling ekstrim selama ada pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta dan sekitarnya.

Jika dianalisa tindakan pemerintah untuk mensolusikan serta mengatasi bencana banjir ini tidak paripurna hanya dilihat solusi yang dilakukan hanya pemulihan akibat bencana bukan mencari akar permasalahan sehingga bencana ini akan terus berulang. Seperti yang dikutip dari TribunJakarta.com. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta terus melakukan koordinasi dengan beragam _stakeholder_ terkait pemulihan pascabanjir untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.. Hal yang sama juga dilakukan gubernur Jawa Barat. Dilansir dari Republika.co.id. Ridwan Kamil menggelar koordinasi antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar)  dengan pemkab/pemkot terkait tanggap darurat pasca bencana banjir. Menurut Emil, ia akan mereview  solusi teknis di lokasi terkait ada bendungan tepatnya di Karawang  dan Ciawi, di Bogor. Solusi sebatas menghindari dan memulihkan segala bentuk  kerugian secara materi. Inilah ciri sistem kapitalis. Sangat berbeda jauh dengan sistem Islam.

Dalam Sistem Islam, seorang Amir atau pemimpin memiliki kebijakan canggih dan efisien dalam permasalan bencana khususnya banjir, mencakup sebelum, ketika, dan pasca banjir. Hal pertama yang dilakukan adalah mencari akar permasalahan. Pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lain sebagainya yaitu dengan membangun bendungan untuk menampung curahan air hujan, curahan air sungai dan lain-lain, seperti bendungan Qusaybah di Kota Madinah. Di masa pemerintahan ‘Abbasiyyah, dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad, Irak di sungai Tigris. Pada abad ke-13 Masehi, di Iran dibangun bendungan Kebar dan banyak  bendungan di bangun dengan berbagai fungsi yang berbeda. Baik sebagai penampung atau pengatur arus air.

Pemimpin Islam  memetakan daerah rawan banjir dan melarang penduduk membangun pemukiman di dekat-daerah tersebut, membangun sumur-sumur resapan di daerah tertentu. Selain beberapa solusi di atas sistem pemerintahan Islam juga menekankan beberapa hal penting lainnya pembentukkan badan khusus untuk penanganan bencana alam, persiapan daerah-daerah tertentu untuk cagar alam. Atau jika ada pendanaan yang cukup, pemerintahan Islam akan membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini, maka daerah-daerah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan.

Hal yang kedua yang dilakukan adalah sosialisasi tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan  kewajiban memelihara lingkungan; kebijakan atau persyaratan tentang izin pendirian bangunan. Pembangunan yang menyangkut tentang pembukaan pemukiman baru. Penyediaan daerah resapan air, penggunaan tanah dan sebagainya. Itulah berbagai solusi dari masalah banjir   yang sering dihadapi masyarakat. Tidak hanya itu Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas bagi yg melanggar aturan. Jika pendirian bangunan di lahan pribadi atau lahan umum, bisa mengantarkan bahaya (madlarah), maka Amir  diberi hak untuk tidak menerbitkan izin pendirian bangunan. Ketetapan ini merupakan implementasi kaedah ushul fikih _al-dlararu yuzaalu_ (bahaya itu harus dihilangkan). Negara Islam juga akan memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pernah pandang bulu. Pemerintah  akan menetapkan _ta'zir_  berupa  denda, hukuman penjara, atau sanksi lain yang dapat mencegah pelanggaran serupa.

Solusi terakhir yang dilakukan pemimpin di negara Islam yaitu penanganan korban banjir seperti penyediaan tenda, makanan, pengobatan, dan pakaian serta keterlibatan warga (masyarakat) sekitar yang berada di dekat kawasan yang terkena bencana alam banjir. Tidak lupa, pemerintah  akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah Swt. Begitulah solusi Islam atasi banjir dan kebijakan dalam sistem pemerintahan Islam  ini  tidak hanya didasarkan pada pertimbangan rasional tetapi juga nash-nash syara. Dengan kebijakan ini, insya Allah, masalah banjir bisa ditangani dengan tuntas.

_Wallahu A'lam bish shawab_

Post a Comment

[blogger]

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.