Padang - Di sebuah negeri yang dihiasi bukit-bukit berselimut kabut dan lembah-lembah yang menggenggam sejarah, tersimpan pula kisah diam-deiam yang mengguncang. Pada pagi Rabu yang biasa—tanggal 17 September 2025—Sumatra Barat dikagetkan oleh satu kenyataan yang luar biasa: pengungkapan peredaran sabu-sabu seberat 50 kilogram.
Angka yang tak sekadar statistik, tetapi simbol dari pertarungan senyap melawan racun peradaban. Dan di balik keberhasilan itu, berdirilah satu nama yang perlahan namun pasti meneguhkan maknanya dalam lembaran pemberantasan narkoba di ranah Minang—Kompol Dedy Adriansyah Putra.
Tak banyak yang tahu, bahwa pria kelahiran Pangkal Pinang, Bangka Belitung ini telah mengukir pengabdian nyaris satu dekade di bumi Minangkabau. Meski bukan putra daerah, Sumbar telah menjadi kampung keduanya—bukan sekadar karena seragam dan kewajiban, tetapi karena cinta dan dedikasi yang tak diucapkan, hanya dibuktikan.
Dedy bukan sosok flamboyan di depan kamera. Ia lebih memilih bekerja dalam diam, menukangi strategi, dan memimpin pasukannya dari garis depan. Sosoknya bersahaja, tutur katanya tenang, namun di balik semua itu tersembunyi ketegasan dan kecermatan yang telah berkali-kali membongkar skema peredaran narkotika dari jantung-jantung kota hingga pelosok batas provinsi.
Ia mengawali pengabdiannya di Sumbar sebagai Kanit II Sitindak di Direktorat Polairud Polda. Lalu, langkahnya berlanjut ke Pasaman Barat, Bukittinggi, hingga Padang. Di tiap tempat itu, Dedy bukan sekadar singgah sebagai perwira, tetapi hadir sebagai pengayom dan pelayan yang meresapi denyut masyarakat yang dilayaninya.
Saat menjabat Kasat Narkoba Polresta Padang, Dedy tak hanya mengungkap kasus demi kasus, tapi mulai memahat rekam jejak sebagai sosok yang tak kenal kompromi terhadap narkoba. Barulah ketika ia dipercaya memimpin Subdit III Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumbar, kapasitasnya mencapai titik puncak yang baru.
Hanya dalam waktu kurang dari setahun, Subdit III yang ia pimpin telah menggagalkan peredaran ganja 47 kilogram di Padang, disusul pengungkapan 50 kilogram ganja di Rao, Pasaman. Dan akhirnya, pada 28 Agustus 2025, tonggak sejarah ditorehkan: 50 kilogram sabu-sabu berhasil diamankan—pengungkapan terbesar sepanjang sejarah narkotika Sumbar.
Namun, Dedy bukan tipe perwira yang menyematkan semua keberhasilan pada pundaknya sendiri. Dengan rendah hati, ia menyebut bahwa keberhasilan ini adalah buah dari kerja tim, dedikasi personel Subdit III, serta arahan dari para pimpinan—Kombes Pol Wedy Mahadi selaku Dirresnarkoba, hingga Kapolda Sumbar Irjen Pol Gatot Try Suryanta.
Nama-nama seperti Iptu Istiklal, Brigadir Yogi, Brigadir Fakhrul, Briptu Rizki, Bripda Luki, Bripda Fatha, dan Bripda Alfis adalah mata rantai yang tak terpisahkan dari kemenangan itu. Mereka adalah para penjaga senyap, yang bekerja tanpa pamrih di medan yang tak selalu terlihat oleh sorot publik.
Yang mereka jaga bukan sekadar hukum, melainkan masa depan. Sebab satu kilogram sabu bisa menghancurkan ratusan jiwa—maka 50 kilogram adalah badai yang nyaris terjadi, namun berhasil dihentikan.
Dalam dunia yang kadang abu-abu, tempat batas antara godaan dan integritas menjadi samar, Dedy dan timnya memilih tetap berpijak pada prinsip. Nilai barang bukti boleh mencapai miliaran, tapi nilai kejujuran dan profesionalisme tetap tak tergantikan.
“Ini bukan hanya tentang angka atau prestasi,” ujar Dedy suatu kali. “Ini tentang komitmen menjaga Sumbar tetap waras, tetap kuat.”
Maka ketika kita menyebut namanya hari ini, bukan hanya sebagai Komisaris Polisi. Tapi sebagai simbol dari keteguhan: bahwa selama masih ada satu sosok yang berdiri tegak, maka harapan untuk sebuah negeri yang bersih dari narkoba tetap menyala.
Dari balik langkah senyapnya, Kompol Dedy Adriansyah Putra mengajarkan kita bahwa perjuangan tak harus gaduh. Kadang, diam-diam saja—asal benar, asal tuntas.
(*)