Hendrizon, SH., MH.
Wartawan Muda
Pers di Era Digital: Hubungan Media Online dengan UU ITE
Kemajuan teknologi informasi telah mengubah wajah pers Indonesia dari media cetak menuju media online. Perubahan ini membawa peluang baru dalam penyebaran informasi, tetapi sekaligus menimbulkan tantangan hukum akibat tumpang tindih antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE). Artikel ini menganalisis hubungan hukum antara media online dengan UU ITE melalui pendekatan asas lex specialis derogat legi generali. Hasil kajian menunjukkan bahwa karya jurnalistik dalam media online tetap tunduk pada UU Pers, sedangkan UU ITE hanya berlaku terhadap konten digital non-jurnalistik. Namun, praktik kriminalisasi pers masih sering terjadi, sebagaimana terlihat dalam kasus Muhammad Yusuf (2018) dan Diananta Putra Sumedi (2020). Oleh karena itu, diperlukan reformasi regulasi dan penguatan peran Dewan Pers agar kebebasan pers tetap terjamin di era digital.
Kata Kunci: UU Pers, UU ITE, Media Online, Kebebasan Pers, Lex Specialis.
Pers memiliki peran strategis dalam demokrasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di era digital, media online menjadi kanal utama penyebaran informasi. Namun, pemanfaatan internet membuat media online juga bersinggungan dengan UU ITE. Hal ini menimbulkan persoalan hukum, terutama ketika karya jurnalistik diproses menggunakan UU ITE alih-alih UU Pers. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pers online dengan UU ITE, sekaligus menjawab apakah kriminalisasi pers online dapat dicegah dengan penerapan asas lex specialis derogat legi generali.
Dalam teori hukum, UU Pers adalah lex specialis yang mengesampingkan UU ITE sebagai lex generalis. Artinya, sengketa terkait karya jurnalistik harus ditangani dengan UU Pers, bukan pidana UU ITE. Namun, dalam praktiknya aparat penegak hukum sering mengabaikan asas ini.
Kasus Muhammad Yusuf (2018, Kalimantan Selatan)
Kasus Diananta Putra Sumedi (2020, Kalimantan Selatan)
Kasus Radar Bogor (2018)
Revisi Pasal-Pasal Karet UU ITE
Agar lebih jelas membedakan antara kritik, opini, dan penghinaan, serta mencegah kriminalisasi pers.
Penguatan Kewenangan Dewan Pers
Aparat penegak hukum harus diwajibkan meminta rekomendasi Dewan Pers sebelum memproses laporan pidana terhadap media online.
Peningkatan Etika Jurnalistik Media Online
Wartawan perlu menjaga akurasi, menghindari hoaks, dan tidak menggunakan judul sensasional yang berpotensi melanggar UU ITE.
Literasi Hukum bagi Aparat Penegak Hukum
Polisi, jaksa, dan hakim harus diberi pemahaman tentang posisi UU Pers sebagai lex specialis.
Kolaborasi antara Pers dan Pemerintah
Melalui forum reguler yang menyusun pedoman penyelesaian sengketa pers online agar konsisten dengan UU Pers.
Hendrizon, SH., MH.
Wartawan Muda
malumat-Hukum adalah fondasi utama dalam kehidupan bernegara. Tanpa hukum, negara akan kehilangan arah, kewibawaan, bahkan keberlangsungan. Hukum bukan sekadar kumpulan aturan tertulis, melainkan instrumen untuk mengatur, menertibkan, dan melindungi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hukum berfungsi mengatur hubungan antara negara dengan warga, serta antarwarga negara. Dengan adanya aturan yang jelas, setiap orang tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hal ini menciptakan keteraturan sosial yang menjadi syarat mutlak bagi stabilitas negara.
Tanpa hukum, kekuasaan bisa berubah menjadi tirani. Fungsi hukum adalah membatasi dan mengendalikan kekuasaan agar tidak sewenang-wenang. Prinsip rule of law memastikan bahwa pemerintah pun tunduk pada hukum, bukan berada di atas hukum.
Hukum hadir untuk melindungi hak-hak warga negara. Setiap orang, tanpa membedakan status sosial, ekonomi, maupun politik, memiliki hak yang sama di depan hukum (equality before the law). Perlindungan ini mencakup hak hidup, kebebasan berpendapat, hingga kepemilikan.
Konflik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan bernegara. Hukum berperan sebagai jalan damai untuk menyelesaikan konflik, baik melalui peradilan maupun mekanisme hukum lainnya, sehingga tidak berkembang menjadi kekacauan yang mengancam negara.
Negara yang baik bukan hanya stabil, tetapi juga adil. Fungsi hukum adalah memastikan terciptanya distribusi keadilan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun politik. Dengan hukum, negara berupaya menjaga keseimbangan agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Hukum bukan sekadar “aturan” — ia adalah penjaga negara. Melalui hukum, negara bisa berjalan teratur, adil, dan beradab. Oleh karena itu, fungsi hukum bukan hanya untuk mengikat, tetapi juga untuk melindungi dan menegakkan nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa.(***)
maklumatnews-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bentuk negara yang dipilih para pendiri bangsa untuk menjaga persatuan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945:
“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”
NKRI lahir sebagai jawaban atas keragaman suku, agama, budaya, dan bahasa yang dimiliki bangsa Indonesia.
NKRI berdiri di atas fondasi yang kokoh:
“Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”
Hal ini menunjukkan bahwa bentuk negara kesatuan bersifat final dan tidak bisa diganti.
Hingga kini, NKRI masih menghadapi berbagai tantangan, seperti:
Untuk memperkokoh NKRI, diperlukan langkah nyata, antara lain:
NKRI bukan sekadar bentuk negara, melainkan simbol persatuan bangsa Indonesia. Menjaga NKRI adalah tugas bersama, baik pemerintah maupun masyarakat. Dengan menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945, serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika, NKRI akan tetap kokoh sebagai rumah besar bagi seluruh rakyat Indonesia.
artikel : Hendrizon, SH., MH.
LAWYER
Maklumatnews-pandangan hukum dan respons berbagai pihak atas demo yang berlangsung pada Agustus 2025 di Indonesia—dengan fokus pada aspek legal, hak konstitusional, pelanggaran oleh aparat, serta perlindungan terhadap peserta dan jurnalis:
UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjadi pondasi yang menjamin hak berdemonstrasi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusional.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Yusril Ihza Mahendra, menekankan bahwa pemerintah tidak melarang demo, termasuk tuntutan ekstrem seperti pembubaran DPR/MPR, selama aksi itu tertib dan sesuai hukum.
Akademisi dan pakar hukum mengingatkan bahwa hak untuk menyampaikan pendapat harus dilindungi, namun pelibatan anak-anak dalam demonstrasi menjadi sorotan serius. Dalam praktik, aparat mengamankan anak di bawah umur dengan dasar bahwa mereka tidak cakap hukum dan perlu dilindungi dari potensi kekerasan atau situasi berbahaya.
Para pengamat menekankan hal ini sebagai bagian dari pemenuhan hak anak yang dijamin oleh UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak, khususnya Pasal 28B ayat (2).
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyatakan bahwa penggunaan gas air mata, meriam air, pasukan taktis, dan sweeping oleh aparat merupakan bentuk represi berlebihan yang mencederai hak kebebasan berpendapat.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) mencatat 370 penangkapan sewenang-wenang, sekaligus mengkritik praktik “pengamanan” dan “pendataan” yang dinilai sebagai kamuflase dari pelanggaran HAM.
Data LBH dan YLBHI menunjukkan: lebih dari 3.300 ditangkap, 1.042 mengalami luka-luka, dan 10 orang meninggal dalam rentang aksi 25–31 Agustus 2025.
Kementerian HAM membuka posko pengaduan masyarakat, mendukung penindakan transparan terhadap pelanggaran dalam demonstrasi, dan mempertegas komitmen pemerintah untuk menjamin kebebasan berpendapat sesuai ICCPR Pasal 19 dan 21.
Akademisi seperti FHUI mengecam keras tindakan represif aparat dalam konteks demo akhir Agustus 2025, menegaskan bahwa hal tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.
SAPMA PP DKI menyampaikan bahwa meskipun aksi demonstrasi adalah hak konstitusional, kerusuhan dan vandalisme yang terjadi menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dan merugikan masyarakat.
| Isu Utama | Pandangan Hukum / Pihak Terkait | ||||||||||||||
|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
| Kebebasan berdemonstrasi | Dijamin oleh UU 9/1998 & konstitusi | ||||||||||||||
| Syarat & batasan | Harus tertib, tidak melibatkan anak (cakap hukum) | ||||||||||||||
| Kekerasan aparat | Dikecam oleh PSHK, TAUD, FHUI sebagai pelanggaran HAM | ||||||||||||||
| Proteksi jurnalis | Penindasan dianggap ancaman demokrasi | ||||||||||||||
Respons pemerintah & HAM⚖️ A. Prosedur Hukum Penanganan Demo yang Sah Menurut UUMenurut UU No. 9Tahun1998 tentan Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, aksi demonstrasi sah jika memenuhi syarat berikut:
Jika syarat ini dipenuhi, polisi wajib melindungi, bukan membubarkan. B. Pelanggaran Hukum dalam Penanganan Demo Agustus 2025Berdasarkan temuan dari LBH, YLBHI, AJI, dan PSHK: 1. Kekerasan Fisik dan Penggunaan Kekerasan Berlebihan
2. Penangkapan Sewenang-Wenang
3. Pembatasan pada Pers
C. Prinsip Hukum yang Dilanggar
|
Posko pengaduan, afirmasi hak |
maklumatnews-Pembunuhan berencana adalah salah satu bentuk tindak pidana berat dalam hukum pidana, karena dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu, artinya pelaku sudah memikirkan dan merencanakan pembunuhan tersebut sebelum melakukannya.
Pembunuhan berencana adalah tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan telah direncanakan sebelumnya. Perencanaan ini bisa berupa mempersiapkan alat, memilih waktu/tempat, hingga cara membunuh korban.
Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Pasal 340 KUHP:
"Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan dengan rencana, dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun."
Untuk dikategorikan sebagai pembunuhan berencana, harus memenuhi unsur:
Kasus Jessica Kumala Wongso (pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan racun sianida di kopi):
Kasus Ferdy Sambo (mantan pejabat Polri):
Sesuai Pasal 340 KUHP:
| Aspek | Pasal 338 KUHP (Biasa) | Pasal 340 KUHP (Berencana) |
|---|---|---|
| Niat dan Perencanaan | Ada niat membunuh, spontan | Ada niat membunuh dan direncanakan |
| Hukuman | Penjara max. 15 tahun | Mati, seumur hidup, atau max. 20 tahun |
| Contoh | Cekcok lalu membunuh spontan | Racun, menyewa pembunuh, jebakan |
1. Proses Hukum Pembunuhan Berencana
Ketika seseorang diduga melakukan pembunuhan berencana, proses hukumnya mengikuti tahapan hukum acara pidana di Indonesia:
Untuk membuktikan pembunuhan berencana, jaksa harus membuktikan:
| Unsur | Penjelasan | Bukti yang Digunakan |
|---|---|---|
| 1. Kesengajaan | Terdakwa berniat membunuh | Pengakuan, saksi, pesan/chat, rekaman |
| 2. Rencana terlebih dahulu | Ada jeda waktu dan persiapan | Bukti pembelian alat, survei lokasi, catatan, komunikasi |
| 3. Perbuatan dilakukan | Korban benar-benar tewas | Visum, saksi mata, CCTV |
| 4. Hubungan kausal | Ada kaitan antara rencana dan tewasnya korban | Kronologi kejadian, bukti digital |
Pembunuhan berencana yang dilakukan oleh si pelaku terutama sudah matang direncanakan sebelum terjadi pembunuhan. Si pelaku merencanakan karena sakit hati atau niat merencanakan ada sesuatu yang diinginkan sebelum kejadian.
( artikel Hendrizon, SH., MH.)